Mencari Kepala Daerah Berintegritas

Beritarafflesia.com- Mendapatkan pemimpin berintegritas lewat ajang pemilihan kepala daerah (pilkada), bukanlah hal yang mudah. Baik bagi pemerintah, penyelenggara, maupun pemilih. Janji manis saat kampanye, terutama komitmen tidak akan korupsi, acap kali kita saksikan sendiri dilanggar oleh mereka yang terpilih.

Tahun ini, kembali digelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di mana hari pemungutan suara akan berlangsung pada 9 Desember 2020 nanti. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), pilkada serentak jilid keempat ini diikuti oleh 736 pasangan calon (paslon) di 270 daerah peserta pilkada yang meliputi 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten.

Banyaknya pasangan calon (paslon) dan daerah yang menyelenggarakan pesta demokrasi tentu menambah kesulitan tersendiri dalam upaya mewujudkan pilkada yang berintegritas dan menghasilkan pemimpin yang berintegritas pula.

Setidaknya ada tiga alasan mengapa pilkada haruslah berintegritas. Pertama, luasnya kewenangan kepala daerah karena mengurus pemerintahan dan mengelola keuangan daerah.

Kedua, banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Hingga Juli 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani sebanyak 21 gubernur dan 122 bupati/wali kota yang terjerat kasus korupsi.

Terakhir, masih maraknya praktik politik uang dalam pelaksanaan pilkada, khususnya terkait pendanaan, yaitu sejak tahapan pencalonan/kampanye hingga menjabat kepala daerah yang melibatkan peserta, penyelenggara/pengawas, pemilih, partai politik, hingga pengusaha/penyandang dana.

Maka itu, sebagai upaya pencegahan korupsi sejak dini pada pilkada serentak 2020, pemerintah bersama KPK memberikan pembekalan berupa nilai-nilai integritas, potensi korupsi pada pilkada, mewujudkan good governance, dan membangun tata kelola pemerintah daerah yang bersih dan transparan bagi paslon dan penyelenggara pemilu.

Dalam kegiatan webinar bertajuk “Pembekalan Nasional bagi Calon Kepala Daerah dan Penyelenggara Pilkada” yang digelar secara daring di Jakarta, Selasa (20/10/2020), Ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan beberapa alasan orang melakukan korupsi, yakni karena serakah, kebutuhan, ancaman hukuman bahkan vonisnya rendah, dan lemah atau buruknya sistem.

KPK mencatat banyak kasus tindak pidana korupsi terungkap pada saat tahun politik, yaitu pada pilkada serentak 2015, 2017, dan 2018 sebagaimana hasil Survei Benturan Kepentingan dalam Pendanaan Pilkada oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPK. Bahkan, pada 2018 saja KPK telah menangkap 30 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.

Donator Paslon

Adapun salah satu hal yang menjadi perhatian serius KPK adalah soal pendanaan pilkada di mana terjadi kesenjangan antara biaya pilkada dengan kemampuan harta paslon. Artinya, total harta paslon tidak mencukupi biaya pilkada.

Berdasarkan survei KPK tersebut, total harta rata-rata satu paslon adalah Rp18.039.709.967, bahkan ada satu palson yang memiliki harta minus Rp15.172.000. Padahal, sebagaimana wawancara mendalam dari survei itu, untuk bisa mengikuti tahapan pilkada setiap paslon di tingkat kabupaten/kota harus mempunyai dana Rp5 miliar sampai Rp10 miliar.

Itu hanya untuk mengikuti saja. Jika ingin menang pilkada di tingkat kabupaten/kota tersebut, maka butuh dana lebih banyak lagi di mana setiap paslon harus mempunyai uang Rp65 miliar.

“Ada juga yang ngomong kalau mau ideal menang di pilkada itu bupati/wali kota setidaknya punya uang Rp65 miliar. Padahal, punya uang hanya Rp18 miliar, artinya minus, mau nyalon saja sudah minus,” ungkap Firli.

Selanjutnya, dari temuan survei KPK juga memperlihatkan bahwa pada 2017 terdapat 82,6 persen paslon menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada. Sedangkan pada 2018 yang menyatakan hal yang sama ada sebanyak 70,3 persen.

Parahnya, menurut KPK, pendanaan pilkada oleh donatur tersebut tidak hanya terbatas pada masa kampanye saja. KPK pun melakukan survei kembali untuk mengetahui apa alasan donatur tersebut mau membantu pendanaan terhadap para paslon.

Hasilnya, tercatat sebanyak 83,8 persen beralasan calon kepala daerah berjanji akan memenuhi harapan donatur ketika memenangkan pilkada. Dengan demikian, calon kepala daerah tersebut telah menggadaikan kekuasaannya kepada pihak ketiga yang mendanai pilkada. Di sinilah bibit potensi terjadinya korupsi di kemudian hari dimulai.

Sedangkan dari pihak donatur, temuan survei pada 2018 memperlihatkan 95,4 persen yang menyumbang tersebut mengharapkan dapat kemudahan perizinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan, serta 90,7 persen dipermudah untuk ikut serta dalam tender proyek pemerintah (pengadaan barang dan jasa).

Kemudian, 84,8 persen mendapatkan keamanan dalam menjalankan bisnis yang saat ini masih ada, 81,5 persen mendapatkan kemudahan akses bagi donatur/kolega untuk menjabat di pemda/BUMD, 72,2 persen mendapat kemudahan akses dalam menentukan kebijakan/peraturan daerah, 62,3 persen mendapatkan prioritas bantuan langsung, dan 56,3 persen mendapatkan prioritas dana bantuan sosial/hibah APBD.

Lebih lanjut KPK juga memaparkan jenis-jenis perkara tindak pidana korupsi yang telah dan tengah ditangani sepanjang 2004 sampai 2020.

Adapun penyuapan menjadi kasus tertinggi yang ditangani KPK sebanyak 704 kasus, menyusul secara berturut-turut pengadaan barang/jasa sebanyak 224 kasus, penyalahgunaan anggaran sebanyak 48 kasus, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebanyak 36 kasus, pungutan sebanyak 26 kasus, perizinan sebanyak 23 kasus, dan merintangi proses KPK sebanyak 10 kasus.

Orkestrasi Semua Elemen

Sementara itu, saat memberikan pembekalan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebut kesuksesan dalam mewujudkan pilkada yang berintegritas merupakan hasil orkestrasi dari seluruh elemen, yakni pemerintah, penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, peserta, aparat keamanan, dan masyarakat.

Pemerintah, kata Mendagri, memiliki peran yang sangat penting. Pertama adalah terkait anggaran. Sampai saat ini realisasi anggaran pilkada hampir mendekati 100%. Rinciannya, anggaran untuk KPU 99,58%, Bawaslu 99,61%, dan aparat keamanan Polri-TNI 83,77%.

Selain itu, peran penting lainnya adalah memfasilitasi, termasuk memfasilitasi masalah peraturan perundang-undangan dan Peraturan KPU (PKPU), serta mendorong agar aparatur negara bersikap netral yang juga berlaku bagi paslon petahana yang tidak dibolehkan melakukan mutasi dalam 6 bulan sebelum penetapan paslon.

“Kemarin ada yang melakukan (mutasi-red) sehingga akhirnya didiskualifikasi, yaitu Kabupaten Ogan Ilir. Ada dugaan demikian, sehingga temuan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) kemudian di-follow up oleh KPU, ” ungkap Mendagri.

Sementara untuk KPU, selaku penyelenggara pemilu, diharapkan juga menjadi pihak menjunjung tinggi netralitas selama pelaksanaan pilkada. Sebab, kata Mendagri, fakta di lapangan menunjukan masih saja ada penyelenggara yang tidak netral

Kemudian untuk pengawas pemilu, yakni Bawaslu, diharapkan kehadirannya dapat mencegah terjadinya tindak transaksional dalam pilkada. Jika ada praktik tersebut, Mendagri meminta Bawaslu jangan ragu untuk menindak tegas. Tidak terkecuali ketika tindak transaksional tersebut juga melibatkan aparat penegak hukum.

Tak kalah penting, paslon beserta partai pendukung juga dapat berperan dalam mewujudkan pilkada berintegritas. Salah satu caranya adalah dengan berkompetisi secara sehat. Siap menang dan siap kalah. Sehingga komitmen paslon untuk tidak menghalalkan segala cara demi kemenangan sangat penting sebagai kontrol dari sisi internal.

Netralitas juga perlu ditanamkan dalam diri aparat keamanan, entah itu Satpol PP, Linmas, anggota Polri, maupun prajurit TNI. Setelah netral, kemampuan untuk mendeteksi potensi-potensi kerawanan konflik juga menjadi peran penting dari aparat keamanan.

Elemen terakhir adalah masyarakat. Masyarakat di sini adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan organisasi kemasyarakatan (ormas). Menurut Mendagri, seluruh elemen masyarakat ini harus diberdayakan untuk ikut berkontribusi menciptakan pilkada yang sehat, aman, dan demokratis.

Bila orkestrasi peran dari seluruh elemen tersebut di atas berjalan dengan baik, maka bukan tidak mungkin terwujudnya pilkada yang berintegritas dan menghasilkan pemimpin-pemimpin daerah yang berintegritas pula. Di sisi lain, upaya ini juga dapat mendukung terciptanya pemerintahan yang transparan dan bersih dari korupsi.

Sumber: Infopublik