Notaris Dan PPAT Kota Bengkulu Minta Perwal Nomor 43 Tahun 2019 Dicabut

Ketua Pengurus Daerah Bengkulu Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), Deni Yohanes,SH.,M.Kn

KOTA BENGKULU,Beritarafflesia.com– Ketua Pengurus Daerah Bengkulu Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), Deni Yohanes,SH.,M.Kn, tidak sependapat dengan pernyataan anggota DPRD Kota Bengkulu yang mengusulkan revisi terhadap Peratuan Walikota (Perwal) Nomor 43 Tahun 2019 Tentang Klasifikasi Nilai Dasar Tanah dan Bangunan Sebagai Dasar Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Menurut Deni usulan revisi dengan merubah klasifikasi nilai dasar tanah dan bangunan sebagai dasar pengenaan BPHTB di dalam Perwal-nya, itu belum cukup. Karena sebaiknya Pengda IPPAT Bengkulu lebih menyetujui perwal tersebut dicabut oleh walikota kemudian diganti dengan peraturan daerah (Perda).

“Sebenarnya IPPAT Bengkulu lebih sepakat dikeluarkan dalam bentuk perda, bukan peraturan walikota. Karena apabila perda dibuat oleh DPRD Kota maka akan ada transparansi dalam penyusunannya, akan ada sosialisasi sekaligus uji publik, pendapat dari ahli dan melibatkan instansi kantor pertanahan, termasuk akan diwarnai sumbang saran warga di situ. Penyusunan Perda tidak hanya melibatkan pemkot, namun juga akan melibatkan banyak stake holder terkait yang berkepentingan,” ujar Deni Selasa (23/6/2021)

Deni menyampaikan, jika nilai dasar tanah dan bangunan ini dibahas untuk kemudian dijadikan perda, dapat dipastikan DPRD Kota akan menjalankan kewajibannya sebagai penyambung aspirasi masyarakat. Karena, kata Deni, DPRD Kota pasti akan berpikir komprehensif, terbuka, dan bersikap lebih bijak.

“Alasannya menyangkut hajat hidup orang banyak, apalagi hal ini menyangkut urusan pemungutan BPHTB kepada masyarakat, urusan peningkatan PAD Kota dan ada kebijakan dengan pertimbangan kemampuan pembayaran yang akan berbanding lurus dengan tingkat perekonomi masyarakat. Termasuk ada kepentingan menggeliatkan perekonomian di daerah. Maka sesuai ketentuannya memang harus diatur sesuai yang terterah dalam Perda,” lanjut Deni.

Ia juga menyinggung Perda Kota Bengkulu Nomor 06 Tahun 2011 Tentang BPHTB, yang sebelumnya mengatur hal tersebut. Dan menyayangkan perwal yang diterbitkan oleh wali kota justru bertentangan dan mengabaikan Perda tentang BPHTB. Termasuk juga mengabaikan substansi dari UU BPHTB, UU Pajak Daerah dan Retribusi yang berlaku. Lebih lagi Permenkeu No.208 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penilaian PBB Perdesaan dengan Perkotaan.

“Kalau diatur lewat perda, jadi ini sudah menjadi keputusan bersama. Bukan keputusan sepihak seperti versi Pemkot Bengkulu, padahal Pemkot tahu persis banyak kalangan masyarakat pasti akan bereaksi dengan diberlakukannya Perwal ini. Semua faham ini untuk peningkatan PAD, namun tidak juga harus menabrak peraturan di atasnya dan memberatkan pihak masyarakat ,Terangnya.

Lebih lanjut  kata deni “Prinsipnya Perda mengatur ketentuan yang substansi, yang tentunya penyusunannya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan tekhnis dan tata cara perhitungan pembayaran BPHTB baru diatur lewat perwal. Ini bahkan undang-undang yang sudah ada dilanggar bahkan isi Perwal-nya bertentangan dengan perda kotanya sendiri,” sambung Deni.

Pria yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Pengurus Daerah Bengkulu Ikatan Notaris Indonesia (I N I) ini menyebut, ketentuan yang ada dalam perwal tersebut belum sama sekali mencerminkan keberpihakan pemkot pada masyarakat. Sehingga cendrug menimbulkan memberatkan masyarakat., jika pengaturan perhitungan biaya pungutan BPHTB hanya didasarkan pada zonasi versi Pemkot, maka masyarakat yang menjual tanahnya pada lokasi-lokasi tidak starategis akan merugi. Karena perhitungan pembayaran BPHTB dan biaya balik nama sertipikat tanahnya masih relatif tinggi, belum lagi ditambah pembayaran PPh dan jasa PPAT.

“Zonasi versi Perwal itu sifatnya masih umum, belum sama sekali mencerminkan perincian yang sebenarnya dari harga jual tanah atau nilai pasarnya di lapangan. Yang jadi masalah sebenarnya adalah letak tanah pada wilayah strategis atau tidak strategis,” ujar Deni.

Deni mencontohkan zonasi Tanah Patah, Kebun Tebeng, Sawah Lebar, Sawah Lebar Baru, Kebun Beler, Kebun Kenanga, Lempuing, Nusa Indah.

“Mau objek tanahnya dekat kuburan, dalam gang gang sempit atau dekat wilayah kampus jadinya sama-sama kena perhitungan pembayaran BPHTB yang relatif tinggi. Kasihan warga yang punya tanah dalam zonasi itu tapi letaknya tidak terlalu strategis, seperti dekat kuburan atau dalam gang gang sempit harus dikenakan perhitungan pembayaran BPHTB yang relatif tinggi, yang tidak terlalu ada perbedaan biayanya dengan objek tanah yang terletak dekat dengan wilayah kampus, atau pinggir jalan ramai,”Ungkapnya lagi.

Seperti yang di lansir media online Bengkulunews,com kemarin, jika pemerintah kota Bengkulu menerapkan klasifikasi berdasarkan kemampuan atau ketidak mampuan dari pemilik tanah dan bangunannyanya, Maka deni memstikan, pasti akan muncul ketidak adilan. Sebab, warga miskin atau golongan tertentu yang tidak mampu namun memiliki letak tanah di lokasi – lokasi yang strategis akan mendapat keuntungan yang sangat besar .

“Berbeda dengan warga miskin atau golongan tertentu tapi memiliki tanah dan bangunan yang letaknya di lokasi-lokasi yang tidak strategis. Bahkan cukup banyak lokasi letak tanah tertentu di kota Bengkulu yang tidak ada klasifikasi nilai dasar tanah dan bangunannya, seperti yang terdapat pada lampiran Perwal. Bisa saja ini belum dimasukkan pada saat penyusunan Perwal”  Papar Deni.

Mewakili IPPAT Kota Bengkulu, Deni meminta perhitungan pembayaran BPHTB yang akan diatur di Perda nantinya tetap berdasarkan aturan Zona Nilai Tanah (ZNT) yang berorientasikan pemetaan lokasi letak objek tanah dan bangunan serta jenis dan peruntukkan bangunannya.

“Bukan pengaturan dari zonasi per wilayah versi Pemkot atau diklasifikasikan dengan pembedaan tertentu, termasuk memberikan keringanan berdasarkan tingkat kemampuan ekonomi dan finansial warga, miskin dan kaya, pengusaha atau masyarakat umum,” lanjut Deni.

Selain itu  ia menambahkan, sebaiknya pemkot sepakati dulu dengan data yang valid dimana lokasi strategis dan tidak strategis berdasarkan pemetaan wilayah ekonomis dan tidak ekonomis, terus validitaskan pemetaan wilayahnya berdasarkan aturan ZNT yang sebagian petanya sekarang ini sudah dibuat digitalisasinya oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)

Lalu lakukan perhitungan juga oleh tenaga ahli profesional penilai harga tanah dan bangunan yang akan menilai secara transparan beracuan realitas standar harga atau nilai pasar tanah dan bangunan per wilayah kelurahan, pinggir jalan umum, termasuk sampai ke dalam gang-gang kecil.

“Baru kemudian dilakukan penilaian jenis dan peruntukkan bangunannya,sepeti bangunan ruko, rumah, gudang, gubug atau tanah kosong. Bisa di lihat dari klasifikasi harga atau nilai dasar tanah dan bangunannya. Saya pastikan tidak masalah apabila setiap tahun pemkot melakukan revisi harga atau sesuaikan dengan nilai harga tanah di pasaran” Tambahnya

Namun demikian sambung Deni” Tentu pelaksanaannya tetap harus mentaati ketentuan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Apabila Perwal ini belum dicabut untuk diganti dengan Perda, maka kedepan bisa saja menimbulkan permasalahan hukum, karena memungut uang rakyat apapun dalihnya tetap harus berdasarkan peraturan perundang – undangan yang jelas atau diperintahkan oleh Undang – Undang, jika tidak berdasar maka akan mengundang masuknya aparat penegak hukum,” Tutupnya.(BR)