Peranan Ulama Dalam Perjuangan Rakyat Bengkulu Di Masa Orde Kolonialisme Barat

Beritarafflesia.com – Kolonialisme tanpa rasa kemanusiaan tidak hanya melahirkan penderitaan, tapi juga membangkitkan perlawanan rakyat. Ulama mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam membangkitkan kesadaran rakyat Bengkulu untuk melakukan perubahan. Dalam tulisan ini akan dibahas peran ulama atau tokoh agama Islam, terkhusus dalam peristiwa perlawanan rakyat terhadap rezim kolonial Inggris dan Belanda pada abad ke-XVIII-XIX di Bengkulu.

 

PENDAHULUAN

 

Pada abad ke-17, pada umumnya Bengkulu merupakan wilayah komunitas tradisional berdasarkan kekerabatan (territorialized kinship-based communities). Komunitas-komunitas ini merupakan konfederasi dari marga-marga ataupun suku-suku yang menggunakan istilah kerajaan (negeri), dan nama sungai sebagai suatu kesatuan masyarakat yang memiliki adat istiadat tersendiri.1 Di Bengkulu terdapat beberapa kerajaan kecil yang tersebar di seluruh daerah. Seperti Kerajaan Sungai Serut, Sungai Lemau, Sungai Itam, Selebar, Mukomuko, Pinang Berlapis, Rejang Pat Petulai/Depati Tiang Empat, Kaur, Pepinau dan Lebong.

Kerajaan-kerajaan tersebut tidak terbentuk sebagai negara yang memiliki kekuasaan mutlak, melainkan gabungan dari dusun-dusun yang otonom yang dipimpin oleh kepala sebagai hasil pemilihan oleh penduduknya.2

Berdasarkan beberapa catatan sejarah dan tulisan hasil studi yang ada menjelaskan asal mula kedatangan Islam ke Bengkulu dapat diklasifikasikan menjadi beberapa teori, yaitu pertama teori Aceh, kedua teori Palembang, teori Minangkabau dan teori Banten. Perbedaan ini disebabkan karena kurang lengkapnya catatan sejarah dari para saksi dan pelaku sejarah, juga karena adanya perbedaan persepsi terhadap aspek kesejarahan yang terkait dengan pergolakan dan dinamika kerajaan waktu itu. Namun berdasarkan bukti-bukti

yang ditemukan syiar Islam masuk di Bengkulu melalui dakwah para ulama dan pengaruh kesultanan di sekitar yang berlangsung pada abad ke-XIV, walaupun dimungkinkan sebelum itu Islam telah masuk.

Meskipun terbatasnya informasi mengenai para ulama atau tokoh penyebar Islam masih sangat terbatas. Bukti peninggalan makam para ulama di setiap daerah, juga akan cerita setiap tokoh dari penduduk setempat yang tak tercatat dalam catatan sejarawan di seluruh Bengkulu merupakan bukti kuat sejarah pergerakan Ulama dalam menyebarkan Islam dan melawan penjajahan. Namun dalam tulisan kali ini hanya fokus pada para ulama atau tokoh Islam yang ikut berperan dalam melawan bangsa kolonial di Bengkulu.

Dalam beberapa peristiwa perlawanan rakyat yang terjadi di Bengkulu, tercatat beberapa nama ulama yang terlibat secara aktif dalam gerakan perlawanan. Nama-nama tokoh agama Islam tersebut yaitu, Said Ibrahim, Ulama Sisi, H. Merdayan, H. Meradoen dan Ketip Payung. Mereka adalah para ulama yang memiliki peranan yang sangat signifikan dalam membangkitkan kesadaran rakyat pribumi Bengkulu. Sehingga rakyat Bengkulu ingin melakukan perubahan pada keadaan atau situasi yang dirasakan buruk di era kolonial (penjajah) Inggris dan Belanda.

 

PEMBAHASAN

 

Sejak memasuki akhir abad XVII perairan Bengkulu telah didatangi oleh para pedagang Inggris dan Belanda.3 Melimpahnya hasil bumi menjadi magnet tersendiri bagi kehadiran mereka untuk datang ke Bengkulu. Pada abad ke-17 di wilayah Bengkulu berdiri kerajaan Selebar. Sebuah kerajaan kecil yang diperintah oleh seorang raja bernama Pangeran Natadirja, bergelar Tuanku Bangsa Radin. Pusat perdagangan hasil-hasil bumi berada di muara sungai Jenggalu.

Pada tahun 1647 Inggris datang ke Bengkulu. Tetapi sama halnya dengan Belanda pada saat itu dimana Inggris belum menetap di Bengkulu, sebagai pedagang mereka sewaktu-waktu datang dan pergi. Di sepanjang perairan tersebut terdapat beberapa bandar dagang yang berada di garis pantai yang sempit. Seperti di Muko-muko, Ketahun, Lais, Sungai Lemau, Sungai Serut, Sungai Itam, Sungai Selebar, Manna, dan Bintuhan. Kehadiran kedua kelompok dagang (EIC dan VOC) di perairan pantai barat Sumatera terbatas pada perdagangan. Mereka mencatat saat kedatangan di daerah pesisir, rakyat negeri-negeri di Bengkulu sedang menjalankan ibadah puasa ramadhan. Agama Islam menjadi entitas yang kuat dan mempengaruhi struktur, adat-istiadat, dan budaya masyarakat pribumi. Selain hukum adat, aturan hukum yang mengikat dalam kehidupan sehari-hari di negeri-negeri di Bengkulu adalah hukum Islam.

Di Bengkulu berdiri sebuah kerajaan kecil yang bernama kerajaan Selebar. Kerajaan ini diperintah oleh seorang raja bernama Pangeran Natadirja, bergelar Tuanku Bangsa Radin. Pusat perdagangan hasil-hasil bumi kerajaan berada di muara sungai Jenggalu. Kerajaan Selebar mengadakan hubungan dagang dengan Kerajaan Belanda. Pada tahun 1664 VOC mendirikan perwakilannya. Bandar perdagangan hasil bumi semakin ramai sehingga membuat rakyat Selebar menjadi makmur.

Pada tanggal 24 Juni 1685, kapal dagang Inggris berlabuh di pulau tikus.

Kedatangan 3 orang agen niaganya utusan Inggris yaitu Ralph Ord, Benyamin Bloom, dan Joshua Charlton untuk menjalin hubungan dagang. Mereka disambut oleh rakyat kerajaan sungai Lemau dan Kerajaan Sungai Itam dengan baik dan ramah-tamah.

Setelah mendapatkan kata sepakat, pedagang bangsa asing itu dapat menetap dan dapat melakukan perniagaan secara bebas, maka dibuatlah satu perjanjian dengan Pangeran Raja Muda dari kerajaan Sungai Lemau dan Depati Bangsa Rajo dari kerajaan Sungai Itam. Melalui East India Company (EIC), Inggris melakukan perdagangan langsung dengan rakyat

kerajaan-kerajaan di Bengkulu. Tidak jauh dari kerajaan Sungai Itam dan Sungai Lemau berdiri kerajaan Selebar. Kolonial Inggris ingin menjalin kerjasama dengan kerajaan Selebar.

 

ERA KOLONIAL INGGRIS

 

Traktat dengan Kerajaan Selebar pada tanggal 12 Juli 1685, mengizinkan Inggris untuk mendirikan berbagai gedung perdagangan dan benteng. Merasa rakyat Bengkulu berpotensi menjadi ancaman, Inggris membangun Benteng York di antara laut dan Sungai Serut. Sejak saat itu bendera Inggris berkibar di Fort York yang dikepalai oleh Benyamin Bloom.

Pada 16 Agustus 1685, ditandatangani perjanjian yang mengatur hubungan perdagangan antara Charles Baswell Esq dengan Pangeran Ingalu Raja, dari Selebar. Isinya adalah monopoli lada, izin membangun loji dan mengadili penduduk yang berbuat salah. Perjanjian-perjanjian yang dilakukan pihak Inggris dengan kerajaan-kerajaan pada intinya menitikberatkan pada pemberian monopoli dalam perdagangan lada dan segala macam jenis hutan lainnya, hanya kepada Inggris (EIC). Maka didirikannya pusat perdagangan lada oleh British East India Company (EIC) pada tahun 1685 di Bengkulu.

Semula perjanjian tersebut bersifat saling menguntungkan dan sederajat, Inggris hanya penempatan kepala kantor dagang.

Dalam membuat perjanjian, para raja di Bengkulu mengangkat sumpah dengan cara Islam. Akan tetapi lambat laun perjanjian dagang yang dibuat Inggris dengan negeri-negeri yang ada di Bengkulu berubah sifat. Inggris mulai mengatur, akhirnya berubah setahap demi setahap menjadi kolonialisme (penjajahan).

Inggris terus memperluas wilayahnya sampai ke Mukomuko. Di tahun 1692 Inggris mendirikan pos di Triamang, Lais, Ketahun, Ipuh, Bantal, dan Seblat (di tahun 1700). Sekitar tahun 1695 wakil gubernur Inggris mengundang para raja Kerajaan Sungai Lemau, Sungai Itam dan Selebar untuk bermusyawarah di Fort York. Selanjutnya Inggris memperluas kerja samanya dengan kerajaan Anak Sungai dan Pepinau, serta

kerajaan-kerajaan lainnya. Selanjutnya pada tahun 1701 kompeni Inggris memperluas daerah ke arah Seluma, Manna, Kaur dan Krui.

Pada suatu saat, datang utusan Kerajaan Inggris ke Kerajaan Selebar, mereka datang dengan membawa banyak hadiah untuk Raja Selebar. Mereka datang dengan penuh kesopanan dan bermaksud mengundang Raja Selebar untuk menghadiri sebuah acara di Benteng York.

Benteng York adalah sebuah benteng yang dibangun oleh Inggris di sebuah bukit kecil tak jauh dari pantai Bengkulu.

Karena utusan Kerajaan Inggris datang dengan sopan, maka Raja Selebar berkenan memenuhi undangan Kerajaan Inggris. Maka dengan diiringi beberapa orang pengawal dan hulubalang datanglah Raja Selebar ke Benteng York. Disambutlah rombongan raja Selebar oleh Wakil Gubernur Inggris yang berkuasa di Bengkulu. Raja Selebar dan rombongannya dijamu makanan mewah oleh penguasa Inggris. Namun dibalik semua jamuan dan sambutan ramah itu, penguasa Inggris mereka sangat sakit hati karena penolakan kerjasama raja Selebar. Lalu tanpa sepengetahuan Raja Selebar dan rombongan, seluruh pintu ditutup. Kemudian sepasukan tentara Inggris masuk dan membunuh raja Selebar. Akhirnya, Raja Selebar yang bijaksana dan dicintai rakyat itu tewas ditangan penjajah Inggris.

 

  1. Said Ibrahim

 

Ketegangan sosial terjadi antara para raja-raja pribumi dengan pemerintah kolonial, khususnya Selebar. Rakyat Selebar pun tidak tinggal diam, mereka melakukan perlawanan. Setelah mendapatkan dukungan dan bantuan dari ulama Said Ibrahim beserta pengikutnya, putra Pangeran Jenggalu memimpin perlawanan terhadap kolonial Inggris.4

Peristiwa penyerbuan rakyat Bengkulu ke Fort Marlborough terjadi pada malam hari tanggal 23 Maret 1719. Pemberontakan ini berhasil mengusir Inggris dari Bengkulu.

Namun, pada tahun 1724 Inggris kembali lagi. Mereka bermanis muka dan datang dengan perjanjian yang lebih lunak. Perjanjian itu pun ditandatangani pada 17 April 1724. Belajar dari pengalaman buruk masa lalu, pihak Inggris melakukan perjanjian baru dengan para pemimpin masyarakat Bengkulu. Perjanjian baru ini menyebabkan kerajaan Sungai Lemau mengalami kemajuan yang pesat di bawah pimpinan Pangeran Mangku Raja. Pada masa itu dibangunlah Balai Buntar untuk tempat pertemuan, sebagai lambang kebesaran kerajaan Sungai Lemau.

 

ERA KOLONIAL BELANDA

 

Satu abad kemudian rezim penguasa pun berganti. Setelah Traktat London ditandatangani, pada tanggal 17 Maret 1824. Bengkulu tidak lagi dibawah perusahaan dagang Kompeni seperti sebelumnya, namun mulai berada dibawah kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda. Masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda berbeda dengan masa pemerintahan kolonial Inggris di Bengkulu. Dimana selama masa pemerintahan Inggris boleh dikatakan tidak ada perubahan apa-apa bagi sistem pemerintahan tradisional rakyat pribumi Bengkulu.

Di masa ini pemerintah Hindia Belanda sedang menghadapi persoalan ekonomi, akibat merosotnya perdagangan lada. Pemerintah kolonial Belanda langsung berusaha untuk memperoleh keuntungan dari wilayah Bengkulu. Sebagai langkah pertama, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang cara pembelian lada.

Pemerintahan kolonial langsung dijalankan hingga di daerah-daerah. Sehingga secara berangsur-angsur perdagangan lada kembali mulai terlihat mengalami sedikit kemajuan.

 

Ulama Sidi

 

Sistem kontrol langsung yang dilakukan oleh para ambtenaar Belanda tidak saja dapat menimbulkan sikap antipati para kepala pribumi, tetapi juga dapat menimbulkan antipati spontan dari penduduk pribumi yang tidak suka ditekan kebebasannya.

Dalam tahun 1835, telah terjadi dua kali peristiwa perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pertama, terjadi pada bulan Mei, rakyat di sekitar dusun Tertik telah menghancurkan pos keamanan Belanda yang ada di susun Keban. Tokoh agama yang menjadi penggerak peristiwa Tabat Mono tahun 1835 dalam melawan kolonial Belanda di Bengkulu.

Tabat mono sekarang dikenal dengan nama Tebat Monok adalah nama dusun di Bengkulu Tengah.5

Perlawanan rakyat terus berlanjut hingga bulan Juni. Sikap antipati Radja Malio (Depati Tjinta Mandi) dapat diketahui melalui isi suratnya yang ditujukan kepada Depati Tanjung Erang dan Proatin Benkoeloe Sabha Boekit beserta anak-buahnya yang ditulis pada tanggal 26 Juni 1835. Isi suratnya menganjurkan agar tidak bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda terutama dalam hal penyediaan tenaga kerja (kuli). Tampaknya anjuran itu cukup serius karena disertai dengan ancaman, bahwa apabila ada diantara mereka yang masih bekerja-sama dengan Belanda, maka akan bermusuhan dengan Depati Tjinta Mandi yang sudah bersepakat dengan para proatin lainnya.6

 

Haji Merdayan

 

Setidaknya tercatat ada dua peristiwa perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda yang melibatkan Ulama atau tokoh agama Islam pada tahun 1873.

Yang pertama yaitu Haji Merdayan, bersama melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan pemerintah kolonial Belanda bernama sahabatnya Berlian. Merdayan adalah seorang tokoh agama Islam yang menjadi penggerak peristiwa Tanjung Terdana dalam melawan rezim penguasa kolonial Belanda. Tanjung Terdana adalah salah satu dusun dibawah Afdeling Sungai Itam, yang merupakan bekas wilayah Sungai Lemau.

  1. Merdayan terlibat secara aktif dalam melakukan perlawanan terhadap pihak pemerintah kolonial yang telah mengeluarkan kebijakan Pajak Kepala. Bersama Berlian mereka melakukan perekrutan pengikut di kalangan rakyat di Tanjung Terdana.8 Setelah mendapat sejumlah pengikut, Berniat yang diangkat sebagai pemimpin. Selanjutnya mereka mulai melakukan latihan untuk melakukan penyerangan dan pembunuhan Asisten Residen H. C Humme di Fort Marlborough. Pada tanggal 11 Mei 1873, mereka memimpin penyerangan gedung Keresidenan. Menurut sebuah sumber, peristiwa penyerangan tersebut dilakukan pada tanggal 18 April 1873.9

Akan tetapi Asisten Resident Humme lolos dari usaha pembunuhan ini. Kegagalan serangan disebabkan karena strategi yang telah diatur tidak dipatuhi oleh pengikut mereka. Akibatnya pasukan H. Merdayan dan Berlian dapat dipukul mundur oleh pasukan kolonial Belanda.

Setelah melarikan diri mereka sekali-sekali menampakan diri di muka pejabat pemerintah di wilayah Lais, Bengkulu dan sekitarnya.

Perlawanan rakyat pada bulan April yang dimotori oleh Meradayan dan Burniat nyaris melumpuhkan pusat pemerintahan kolonial Belanda di Fort Marlborough, bahkan nyaris mengancam nyawa Asisten Residen H.C. Humme. Selain dipicu oleh pajak kepala “hoofd belasting”, munculnya perlawanan rakyat juga karena kebijakan penghapusan “regenten bestuur”. Karena rakyat masih harus terbebani oleh

pemaksaan tanam kopi, eskalasi gerakan sosial semakin meningkat. Peristiwa Tanjung Terdana kemudian meluas hingga ke wilayah-wilayah yang berdekatan seperti Dusun Bentiring, Dusun Batu Radja, hingga wilayah Marga Salapan yang sebagian besar berasal dari Suku Lembak keturunan elit Sungai Itam.

 

Haji Meradoen dan Ketip Payung

 

Setelah terjadi usaha pembunuhan terhadap Asisten Residen Humme, pada tanggal 18 April 1873. Pada bulan Mei 1873, Asisten Residen H. van Amstel yang ditunjuk sebagai Residen. Residen baru ini tetap menjalankan perintah yang telah ditetapkan oleh Gubernur Jenderal di Batavia, bahkan lebih keras. Meskipun telah terjadi perlawanan dengan cara melakukan usaha pembunuhan kepada pejabat pemerintahan.

Meskipun tidak berdampak secara langsung dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Namun Haji Meradoen bersama Ketip merasa terpanggil untuk ikut memperbaiki keadaan yang terjadi di tengah umatnya. Sehingga mereka memilih untuk bergabung dalam gerakan perlawanan terhadap rezim penguasa. Mereka berdua menjadi motor penggerak (agent of motivation) dalam peristiwa perlawanan di Bintunan.10 Dalam gerak perlawanan rakyat pada tahun tahun 1873 melawan kolonial Belanda di Bintunan, salah satu distrik di bawah Afdeling Lais masa.11

Para kepala marga di Onderafdeeling Lais menggelar rapat dan bersepakat akan menolak semua perintah dari Asisten Residen Van Amstel.12 Rapat ini juga telah menyepakati usaha perlawanan secara terbuka dan memilih Damarjati sebagai pemimpin. Lalu ditetapkan cara untuk menghentikan semua perintah tersebut, yaitu Asisten residen van Amstel harus dibunuh.

Mendengar berita kedatangan Asisten Residen, hal ini merupakan momentum untuk melaksanakan rencana yang sudah diputuskan. Maka pada tanggal 2 September 1873, 30 orang Pasirah dan Depati berkumpul di rumah Pasirah Damarjati. Para Pasirah dan Depati mendapatkan dukungan dari Haji Meradoen dan Ketip Payung.

Untuk menyambut rombongan Asisten Residen H. van Amstel dan Controleur Lais c. Casten dilakukan persiapan secara adat. Ketika menyeberang sungai keadaan tenang saja. Akan tetapi setelah hampir sampai ke tepi, mendadak Pasirah Damarjati membunuh Asisten Residen van Amstel, dan Controleur Castens. Sedangkan di tepi sungai telah menunggu lebih kurang 30 Depati dan Pasirah yang semuanya bersenjata golok.13 Peristiwa pembunuhan Asisten Residen dilakukan pada pagi hari, pada pukul 10.00 pagi.30

Para Pasirah dan Depati mendapatkan dukungan dari Haji Meradoen dan Ketip Payung. Selain mendatangkan pasukan dari Batavia, pemerintahan Belanda juga mendatangkan pasukan dari Kepahiang, Tebing Tinggi serta Padang. Pada tanggal 4 September 1873 komandan perang Nederlandsch Indie mengirim seorang komandan serta 50 orang serdadu dari Kepahyang ke Bengkulu. Sedangkan dari Batavia pemerintahan Belanda mengirim

kapal Kroonprins der Nederlandsch yang membawa 8 orang perwira, 240 pasukan dari Batalyon infanteri ke-10.14 pengiriman pasukan dari Batavia dilakukan kembali pada tanggal 11 September mengirim kapal vice Residen Prins ke Bengkulu dengan membawa 102 pasukan dari batalyon infanteri ke-15, dibawah pimpinan kapten I. T. A. Noman.15 Setelah semua persiapan selesai maka, pasukan Belanda melakukan penyerangan ke Lais, khususnya Bintunan.

Untuk membangkitkan moral pasukannya

yang telah terkepung. Damarjati menyerang pasukan Belanda. Pasukan Belanda menggunakan

peluru berlapis emas yang sudah disiapkan untuk menghadapi kekebalan tubuh Damarjati terhadap senjata. Pada tanggal 24 Maret 1889 tengah malam, penjahat nomor wahid yang dicari-cari pemerintah kolonial Belanda ini ditangkap. Menurut kabar Ratu Samban eksekusi di atas rakit, sebagaimana dua pejabat Belanda dieksekusinya. Tokoh perlawanan wafat dengan cara dihukum pancung dalam posisi tangan terikat. Beliau dimakamkan oleh masyarakat di Desa Bintunan Kecamatan Batik Nau

Burniat dan Mardjati alias Ratu Samban adalah tokoh yang di mata rakyat pribumi Bengkulu adalah seorang pahlawan. Burniat saat ini dapat kita temukan sebagai nama sebuah jalan kecil di Kebun Keling, tidak jauh dari Tugu Thomas Parr dan Benteng Marlborough kota Bengkulu.

Namun disisi lain mereka dicap sebagai ekstrimis, pemberontak, teroris, dan radikal bagi penguasa tiranik Belanda.

 

KESIMPULAN

 

Dari sejarah kita dapat mengetahui bahwa terbentuknya umat muslim dalam struktur masyarakat Bengkulu dan kelestariannya saat ini tidak dapat dilepaskan dari peran dan fungsi ulama. Peran Ulama yang paling bernilai dan utama adalah terkait peran tradisionalnya, yakni sebagai penanggung jawab dalam mempertahankan keyakinan (keimanan) melalui pengajaran ilmu-ilmu agama.16 Seorang ulama memiliki fungsi yang signifikan dalam kedudukan sebagai pemimpin (non-formal) yang berdiam pada komunitas masyarakat Islam di Bengkulu.

Selain berfungsi untuk memberikan penanaman keyakinan dan pemberi pencerahan keagamaan (fungsi teologis). Para Ulama juga berfungsi sebagai problem solver dalam masyarakat Dari sudut sosiologis posisi ulama sebagai pusat dalam hubungan Islam dengan umatnya. Para Ulama menyampaikan ajaran agama Islam dan juga mensosialisasikan ajaran yang mengandung pendidikan politik. Mereka menjelaskan bahwa kekacauan yang terjadi disebabkan oleh kebijakan kekuasaan pemerintahan kolonial.

Tokoh ulama membangkitkan kesadaran umat atau masyarakat secara bersama agar ingin melakukan perubahan pada situasi dan kondisi yang terjadi.

Itulah sebabnya, ulama sering menampilkan diri sebagai figur yang menentukan dalam pergumulan umat Islam di panggung sejarah.17 Mereka kemudian memilih jalan gerakan perlawanan sebagai perjuangan untuk menghentikan penindasan dan kezaliman.

Para Ulama menjawab tantangan zaman saat itu dengan membentengi umat dari misi Kolonialisme, Sekularisasi dan Liberalisasi.

Konstelasi politik yang tidak “sehat” dalam mekanisme demokrasi ikut menjadi andil terciptanya potensi konflik yang terbuka pada masyarakat yang sudah terpolarisasi saat ini. Peran tokoh agama, ulama, pemimpin organisasi keIslaman, intelektual dan cendekiawan muslim saat ini dinantikan utk dapat meredam situasi. Dalam konteks perubahan sosial yang terjadi, respon dan tanggung jawab ulama dalam memegang peranan dalam menjaga dan melestarikan nilai-nilai Islam dalam konsep Rahmatan Lil’alamin yang diharapkan.

Namun, dalam penulisan sejarah Bengkulu selama ini peran Islam dan politik Islam, apalagi para ulama dalam perlawanan rakyat terhadap rezim kolonial cenderung dikecilkan perannya.

Para Orientalis mengaburkan peranan ulama dalam perjuangan rakyat Bengkulu pada era Kolonialisme dalam bingkai “Deislamisasi”. Mereka berusaha sekuat tenaga mengubur sejarah kesuksesan politik islam dalam mengatur tata kemasyarakatan. Eksistensi negeri-negeri Islam di Bengkulu berusaha dikaburkan dalam penulisan sejarah di masa lalu.

Sebagaimana pandangan seorang ahli strategi belanda, Christian Snouck Hurgronje yang memandang islam sebagai faktor penghalang misi penjajahan terutama yang disebutnya sebagai islam politik. Berdasarkan usulan dari penasihat Belanda Snouck Hurgronje, untuk melemahkan perlawanan Ulama dan umat Islam : “Tidak satupun yang dapat diperbuat untuk meredakan perlawanan para Ulama kecuali sampai ditumpas sampai habis. Oleh karena itu, di rancanglah Ruthless Operation (Operasi tanpa belas kasih).”

Sejarah panjang dan kelam masa kolonial Inggris di Bengkulu mewarnai perjalanan sejarah bangsa. Sumbangsih rakyat Bengkulu terhadap kemerdekaan Indonesia menunjukkan peran menonjol yang tidak dapat terlupakan. Jika perjuangan para Ulama dihapuskan dalam catatan sejarah Bengkulu, maka hilanglah integritas kita sebagai anak negeri. Fakta sejarah berusaha ditutup-tutupi oleh kepentingan politik, dan atmosfer seperti ini terus berlanjut hingga sekarang di era reformasi.

Negeri Bengkulu adalah negeri kita, tanahnya airnya punya kita. Namun saat ini kekayaan alam kita dikeruk oleh mereka yang tidak pernah kita undang. Bumi, air, beserta isinya dikuasai oleh para pengusaha, oligarki atau para kapitalis yang bersekutu dengan para penguasa.

Tanah rakyat dirampas, lalu ditangkap dan kriminalisasi di negerinya sendiri. 77 Tahun sudah kita merdeka dari penjajah bangsa asing secara dhohir. Namun, apakah kita benar-benar sudah merdeka dalam artian yang sesungguhnya.? Dan apakah kita akan diam melihat penindasan, kezaliman, keserakahan yang terjadi pada saat ini ? Ataukah kita akan bangkit untuk melawan ?

Wallahu ‘a’lam

Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.

Bengkulu, 5 Agustus 2022

(Penulis adalah pemerhati sejarah Bengkulu-ketua Hulubalang Bengkulu)

Referensi :

  1. BJO Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatera Barat, (Jakarta: Bhratara, 1973), hlm. 15-18. Dalam , Salim Bella Pilli, Ibid.., hlm. 74.
  2. M. Nur, Pelabuhan Bengkulu dan Perdagangan Pada Masa Kolonial Inggris, mbagian Lais menjadi Marga
  3. Kecuali wilayah Anak Sungai (MukoMuko) yang menggunakan istilah “kesultanan”,J. Kathirithamby-Wells, A Survey of the Effects of British Influence on Indigenous Authority in Southwest Sumatra .(1685-1824), BKI, deel. 129 (‘s-Gravenhage: Martinus-Nijhoff, 1973), hlm. 240. Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Jakarta: Sinar Harapan, 1982, hlm..6
  4. Abdullah Sidik, Sejarah Bengkulu 1500- 1990, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 47.
  5. Agus Setiyanto, Gerakan Sosial Masyarakat Bengkulu Abad XIX: Peran Elite Politik Tradisional dan Elite Agama, Ombak,Yogyakarta, hlm. 99.
  6. Lady Sophia Raffles, 1830: 303.
  7. Lihat Algemeen Administratief Verslag over het jaar 1873.
  8. Agus Setiyanto,Gerakan Sosial Masyarakat Bengkulu Abad XIX, hlm. 135./25 Lihat Algemeen Administratief Verslag over het jaar 1874 hingga 1876.
  9. Agus Setiyanto, Gerakan Sosial…, hlm. R201-202
  10. Agus Setiyanto,Gerakan Sosial Masyarakat Bengkulu Abad XIX, hlm. 135.
  11. Agus Setiyanto, Gerakan Sosial…, hlm 201-202
  12. Wink. Op-cit, hal. 89; Politiek Verslag 1873. Administratief Verslag over het jaar 1873. 12Ag. 17541 tanggal 6-9-1873 
  13.  Ag. No. 3188/6.
  14. Sumber mengenai perang Ratu Samban berdasarkan Cerita Rakyat; berupa naskah yang disusun oleh Herman Suryadi dan Nazarudin, wawancara dengan eks Pasirah Bintunan di Batik Nau dan Cerita Rakyat terbitan P dan K, penggunaan sumber lokal disebabkan oleh sumber Belanda di Arsip Nasional belum ditemukan.( Padang, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, BKSNT, 2004), hlm, 16. 14Ag. 17541 tanggal 6-9-1873
  15. Ag. No. 3188/6.
  16. Mimbar Ulama, Para Ulama adalah Pewaris Nabi (Jakarta: Suara Majelis Ulama Indonesia, 1999), hlm. 34.
  17. Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, terj. Umar Basalim dan Andi Muarly Sunrawa, (Jakarta: P3M, 1987), hlm. 114.

*****””””””””””””””””””””””””””””””””””””””””””*****